Jumat, 22 Juni 2012

Monolog Untuk Kamu

Halo, apakah saat ini kamu sendirian? Jika jawabanmu iya, berarti kita sama. Karena saat ini pun aku sendiri, duduk memandang langit yang dihiasi bulan sabit serta puluhan, atau mungkin malah ratusan, ribuan, bahkan jangan-jangan jutaan, bintang yang mengerumuninya.



Jangan tanya bagaimana rasanya menghabiskan malam dingin sendirian dengan memandangi langit yang pesonanya terlalu indah untuk dinikmati sendirian. Sungguh, aku mati-matian ingin menghadirkan kamu di sampingku saat ini untuk membagi pemandangan maha indah ini. Sayangnya itu mustahil, maka biarkanlah aku meneruskan monolog ini seolah aku sedang berbicara dengan kamu, karena aku sungguh-sungguh harus membagi keindahan ini dengan kamu, walau hanya sekedar dalam monologku.




Ya, ini memang aneh. Awalnya kupikir tidak ada yang istimewa ketika aku mengingatmu saat aku sedih, berharap kamu di sampingku setiap air mataku hampir tumpah. Karena kamu memang selalu berhasil membuat air mata itu urung hadir dan menggantinya dengan tawa, melalui tingkah polahmu. Tapi lalu mendadak jadi terasa istimewa ketika setiap kali ada perasaan bahagia yang muncul, aku kemudian merasa salah jika bahagia itu tidak kamu ketahui, dan harus kamu yang tahu pertama kali.



Entahlah, aku tak mau terlalu banyak memikirkannya. Aku hanya ingin menikmati semuanya sampai ke hatiku yang paling dalam. Meresapi setiap perasaan bahagia yang mendadak berlipat rasanya setiap kali kubagi bersama kamu. Tapi tak bisa kuingkari, kadang pikiranku tentang kamu tak lagi bisa kuatur semauku. Karena jika sudah menyangkut kamu, pikiranku seringnya memberontak tak bisa diperintah.



Pernah suatu kali kamu terus-terusan hadir dalam hariku, sehingga waktuku hari itu tersita hanya oleh kamu. Hmm, mungkin tepatnya pikiran-pikiran tentang kamu. Dan semakin kuperintahkan pikiranku untuk menjauhi hal tentang kamu, dia justru semakin menghadirkan kamu dan malah menyingkirkan yang selain kamu.



Sesungguhnya aku punya pertanyaan yang kusimpan untukku sendiri, dan selama ini kubiarkan mendekam di sudut pikirku. Bukan pertanyaan sulit sesungguhnya, hanya sekedar rasa penasaran, ingin tahu, apakah yang kurasakan terhadap kamu ini juga kamu rasakan terhadap aku. Namun tak pernah kubiarkan pertanyaan itu terlepas dari mulutku, walaupun ia seringnya mati-matian memaksa lompat keluar dari mulutku. Tapi aku masih dapat menahanya, dan memaksanya kembali ke sudut tempat ia kubiarkan mendekam.



Bukan, aku bukan takut menanyakan pertanyaan itu, sesungguhnya pertanyaan itu biasa saja. Yang membuatku menahannya keluar adalah karena pertanyaan itu sesungguhnya selalu bersama dengan seorang kawan baiknya yang juga berbentuk pertanyaan. Dan si kawan inilah yang kutakutkan. Karena jika si kawan ini sampai terlontar, aku takutnya kamu ketakutan, dan menjauh, dan aku akan kehilangan kamu, bukan untuk kubagi air mata. Yang kutakutkan justru aku kehilangan kamu, yang selalu ingin kuajak berbagi bahagia. Karena membaginya denganmu bukan lagi menjadi sekedar keharusan, tapi kebutuhan.



Tidak, tolong jangan paksa aku memberitahu apa pertanyaan yang kutakutkan lebih dari pertanyaan sebelumya itu, karena walaupun ini hanya monolog, aku tetap takut jika monolog ini tak sengaja kau curi dengar, atau baca.

Aduh, kenapa kau malah memaksa, kau tahu, menolakmu adalah kelemahanku, sekalipun hanya sekedar dalam monolog. Baiklah, baiklah, mungkin tidak akan terjadi apa-apa jika pertanyaan ini kuberitahukan di sini, karena bukankah ini hanya sekedar percakapanku dengan diriku sendiri?





Jadi begini, sepertinya hatiku telah menjatuhkan cintanya di satu hati yang lain. Dan entah mengapa, aku yakin cinta itu jatuhnya di hatimu. Maka, maukah kamu membagi hatimu yang terlanjur kujatuhi cinta itu dengan hatiku? Menghindarkannya dari rasa nelangsa?









Aneh, entah mengapa mengajukan pertanyaan itu mendadak membuat dadaku terasa lega. Dan lebih anehnya lagi, sekarang ini aku justru ingin monolog ini terdengar sampai ke telingamu.

Tidak ada komentar: