Selasa, 06 November 2012

Musik Kita




Di pasar, ada banyak pedagang buah. Apakah mereka saling bersaing? Tentu saja, tapi persaingan itu selalu dilambari kalimat bijak: “Ah, rezeki orang sendiri-sendiri.” Dalam ilmu psikologi, itu mekanisme pertahanan diri yang cukup afdal menangkal stres andai dagangan mereka tidak atau kurang laku, alias kalah bersaing. 

Laku atau tidaknya buah dagangan mereka tentu saja bergantung atas beberapa hal: kualitas produk, harga, dan cara menjajakan. Lapak yang buahnya berkualitas buruk, harganya punya selisih lebih dari yang lain, dan penjualnya kurang pintar memasarkan, besar kemungkinan sepi pembeli. Meski begitu, para penjual itu sering sudah punya pelanggan, yang mungkin berkategori fanatik. Kalau tidak membeli dari lapak langganan, rasanya ada yang aneh. Hal sama juga dialami para pedagang dengan dagangan sejenis.

Begitu juga dalam industri musik. Kelompok-kelompok musik bermunculan, baik sebagai band yang mengandalkan permainan instrumen dan vokal maupun boyband dan girlband yang mengandalkan vokal dan tarian. Satu kelompok muncul dan berkibar di puncak popularitas, yang sudah ada bisa meredup, mati suri, atau bahkan mati benar-benar. Itu semua semata dinamika dalam dunia hiburan, khususnya di belantika musik. Pada hari gini begitu susah sebuah band untuk jadi abadi dan melegenda. Persis seperti kehidupan kita yang serbainstan, selera terhadap suatu jenis musik (ah, mungkin tak sampai ke soal genre musik, tapi hanya ke sebuah band tertentu), juga bisa berubah setiap saat. Bahkan Dewa (Dewa 19) yang dipandegani Ahmad Dhani, orang yang dianggap mampu menghasilkan musikalitas bagus dan bagus menelurkan banyak band populer meski sesaat, juga harus mati.


Maka, secara pribadi, saya mengagumi kebertahanan Slank dan Gigi. Soal Gigi ini menarik, terutama kalau kita melihatnya dalam perspekstif cara bertahan sebuah kelompok band pada hari gini. Bagi saya, Gigi yang musik dan syairnya mendadak religius (islami), dan itu seperti bukan Gigi yang sebenarnya, jelas-jelas cara cerdas untuk bertahan.


Sesumbar ”Ariel Bebas, Boyband Tewas” menurut saya hanya jargon retoris yang kebetulan sangat bombastis. Sebab, bebas atau tidaknya Ariel, atau ada-tidaknya band Noah yang mengganti Peterpan, boyband akan meredup sebelum benar-benar mati untuk muncul lagi entah kapan. L’histoire se repete, begitu kata Voltaire. Ya, dalam kehidupan, juga dalam kesenian, selalu akan ada perulangan sejarah. Boyband dan girlband, yang banyak dikritik hanya jualan tampang dan koreografinya yang melulu mencontoh gaya Korea, bagaimana pun telah mewarnai industri hiburan kita. Sama seperti ketika band booming, ketika kita punya Radja, Peterpan, Sheila on 7, ST 12, Wali, dan banyak lagi lainnya.


Saat band jaya, juga saat boyband dan girlband digdaya, ada hal yang selalu luput dari perhatian kita. Apa? Kita tak pernah punya selera musik, atau setidak-tidaknya punya pilihan musik yang sesuai selera kita. Musik yang sampai pada kita semata pemberian dari para industriawan musik. Musik seperti apa yang mereka sodorkan, itu yang kita terima. Jadi, yang ada adalah ”penyeleraan”. Saya pernah berpikir ekstrem, selera musik kita adalah selera musik para pengamen. Kenapa? Lagu yang dinyanyikan di bus-bus itu biasanya bakal punya kans meroket. Tak hanya untuk lagu-lagu pop, lagu-lagu campursari pun bakal digemari bila para pengamen itu sering menyanyikannya.

Jadi, kebebasan Ariel dan Noah yang baru sehari saja resmi dibentuk telah meluncurkan sebuah lagu, semata sebuah dinamika dalam musik kita, dinamika yang sayangnya lebih banyak ditentukan oleh industriawan, bukan oleh kita yang akan menikmatinya.

Tidak ada komentar: