Di pasar, ada banyak pedagang buah. Apakah mereka
saling bersaing? Tentu saja, tapi persaingan itu selalu dilambari
kalimat bijak: “Ah, rezeki orang sendiri-sendiri.” Dalam ilmu psikologi,
itu mekanisme pertahanan diri yang cukup afdal menangkal stres andai
dagangan mereka tidak atau kurang laku, alias kalah bersaing.
Laku atau
tidaknya buah dagangan mereka tentu saja bergantung atas beberapa hal:
kualitas produk, harga, dan cara menjajakan. Lapak yang buahnya
berkualitas buruk, harganya punya selisih lebih dari yang lain, dan
penjualnya kurang pintar memasarkan, besar kemungkinan sepi pembeli.
Meski begitu, para penjual itu sering sudah punya pelanggan, yang
mungkin berkategori fanatik. Kalau tidak membeli dari lapak langganan,
rasanya ada yang aneh. Hal sama juga dialami para pedagang dengan
dagangan sejenis.
Begitu juga dalam industri musik. Kelompok-kelompok musik
bermunculan, baik sebagai band yang mengandalkan permainan instrumen dan
vokal maupun boyband dan girlband yang mengandalkan vokal dan tarian.
Satu kelompok muncul dan berkibar di puncak popularitas, yang sudah ada
bisa meredup, mati suri, atau bahkan mati benar-benar. Itu semua semata
dinamika dalam dunia hiburan, khususnya di belantika musik. Pada hari
gini begitu susah sebuah band untuk jadi abadi dan melegenda. Persis
seperti kehidupan kita yang serbainstan, selera terhadap suatu jenis
musik (ah, mungkin tak sampai ke soal genre musik, tapi hanya ke sebuah
band tertentu), juga bisa berubah setiap saat. Bahkan Dewa (Dewa 19)
yang dipandegani Ahmad Dhani, orang yang dianggap mampu menghasilkan
musikalitas bagus dan bagus menelurkan banyak band populer meski sesaat,
juga harus mati.
Maka, secara pribadi, saya mengagumi kebertahanan Slank dan Gigi.
Soal Gigi ini menarik, terutama kalau kita melihatnya dalam perspekstif
cara bertahan sebuah kelompok band pada hari gini. Bagi saya, Gigi yang
musik dan syairnya mendadak religius (islami), dan itu seperti bukan
Gigi yang sebenarnya, jelas-jelas cara cerdas untuk bertahan.
Sesumbar ”Ariel Bebas, Boyband Tewas” menurut
saya hanya jargon retoris yang kebetulan sangat bombastis. Sebab, bebas
atau tidaknya Ariel, atau ada-tidaknya band Noah yang mengganti
Peterpan, boyband akan meredup sebelum benar-benar mati untuk muncul
lagi entah kapan. L’histoire se repete, begitu kata Voltaire.
Ya, dalam kehidupan, juga dalam kesenian, selalu akan ada perulangan
sejarah. Boyband dan girlband, yang banyak dikritik hanya jualan tampang
dan koreografinya yang melulu mencontoh gaya Korea, bagaimana pun telah
mewarnai industri hiburan kita. Sama seperti ketika band booming,
ketika kita punya Radja, Peterpan, Sheila on 7, ST 12, Wali, dan banyak
lagi lainnya.
Saat band jaya, juga saat boyband dan girlband digdaya, ada hal yang
selalu luput dari perhatian kita. Apa? Kita tak pernah punya selera
musik, atau setidak-tidaknya punya pilihan musik yang sesuai selera
kita. Musik yang sampai pada kita semata pemberian dari para
industriawan musik. Musik seperti apa yang mereka sodorkan, itu yang
kita terima. Jadi, yang ada adalah ”penyeleraan”. Saya pernah berpikir
ekstrem, selera musik kita adalah selera musik para pengamen. Kenapa?
Lagu yang dinyanyikan di bus-bus itu biasanya bakal punya kans meroket.
Tak hanya untuk lagu-lagu pop, lagu-lagu campursari pun bakal digemari
bila para pengamen itu sering menyanyikannya.
Jadi, kebebasan Ariel dan Noah yang baru sehari saja resmi dibentuk
telah meluncurkan sebuah lagu, semata sebuah dinamika dalam musik kita,
dinamika yang sayangnya lebih banyak ditentukan oleh industriawan, bukan
oleh kita yang akan menikmatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar