Sadar atau tidak, orang sering kali memubazirkan banyak hal. Bahkan untuk mencapai kamukten dan kawibawan, banyak yang secara mendadak berlebihan harta dan janji. Setelah itu, alih-alih mengkritik, tak sedikit pula yang hanya keplok ora tombok, suka berkomentar, tak mau bertindak. Semua sia-sia, muspra.
Semua yang berlebihan itu tidak baik. Bersikap muspra, adalah bukti ketidakmampuan menahan diri. Tak ubahnya anak-anak yang kewaregen (kekenyangan) saat makan, ia belum bisa mengontrol berapa banyaknya makanan yang harus dilahap. Asalkan enak, masih saja memakan. Muspra kemudian sering dikaitkan dengan nafsu duniawi yang selalu lekat dengan manusia.
Ikhwal kesia-siaan, cerita pewayangan telah banyak memberi gambaran. Alkisah, Subali kala itu berjuang bersama adiknya, Sugriwa, untuk menyelamatkan Dewi Tara. Misi penyelamatan itu ditempuh setelah mendapat wangsit dari dewa di tengah usaha mereka untuk talak brata, menahan diri untuk menebus dosa. Subali berpesan kepada adiknya, bila nanti darah yang mangalir dari dalam gua berwarna merah, berarti ia berhasil mengalahkan Maesasura, raksasa yang menculik Dewi. Namun bila darah itu berwarna merah bercampur putih, maka Subali yang kalah. Sugriwa diminta untuk menutup pintu gua supaya raksasa tak bisa keluar.
Beberapa saat setelah peperangan, darah yang keluar ternyata merah bercampur putih. Sugriwa yang berjaga di depan pintu, kaget dan langsung menutupnya. Ia kemudian bergegas pergi, mengikuti Sang Dewi yang telah dahulu melenggang ke kahyangan. Syahdan, mereka menikah. Bathara Indra menganggap Sugriwa berjasa hingga pantas mendapatkan anaknya. Beberapa saat setelah itu, di luar gua, Subali teramat kecewa pada adiknya. Ia sebenarnya menang. Aliran darah yang keluar dari gua adalah milik penculik yang telah dikalahkan. Subali ke kahyangan, hampir membunuh Sugriwa.
Resi Gotama segera menengahi setelah melihat kedua anaknya berlaga. Resi menjelaskan kesalahan Subali, ia dianggap bersalah karena telah mengaku berdarah putih, sumuci-suci. Segala usahanya menebus dosa sia-sia karena kesombongan. “Subali, tanpa guna kowe talak brata taun-taunan, muspra pegaweyanmu, mubadir pegaweyanmu, Subali!“ Bebas Memilih Manusia bebas menentukan pilihan dan tidak dapat menyalahkan orang lain. Karena ia bisa menolak dan menerima pilihan yang dihadapkan pada diri sendiri. Kebebasan itu tentu bukan tanpa rasa tanggung jawab. Semua pilihan hendaknya dilandasi sikap etis, sesuai dengan aturan.
Sedangkan untuk dapat hidup serta untuk menentukan rencana dan kemudian berusaha keras mencapai tujuannya sendiri, yaitu mewujudkan apa yang dicita-citakan, tiap manusia harus pula “mengenali diri sendiri“. Tanpa hal itu, manusia tak akan dapat memanfaatkan anugerah Tuhan berupa potensi dan kekuatan pada dirinya untuk mencapai masa depan yang serasi, selaras, dan damai, seperti yang diidamkan. Kebahagiaan hidup dalam kedamaian hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki dan mempertahankan sikap mental yang baik dan ketenteraman dalam batin.
Nasrudin dalam buku Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa (2008) menyebutkan, orang yang membawahi raja pun harus diuji dengan cara yang berbau duniawi, yaitu perempuan dan harta, selain juga kemampuan dan keberanian. Hasil yang acap kali mengecewakan adalah ketika diuji perempuan. Ini membuktikan, bawahan raja belum lulus “uji materi“. Masih tergoda hal duniawi yang kelak mengganggu proses pemerintahan.
Meskipun demikian, Nasrudin menyebutkan, pejabat yang telah dahulu menduduki takhta sering kali menyalahgunakan jabatannya. Banyak yang diangkat atas dasar persaudaraan, bukan berdasar kompetensi yang dimiliki. Tentu saja hal ini kemudian menjadi mubazir, posisi itu tidak ditempati oleh orang yang semestinya. Kompetensi dan wilayah kerja yang tidak sesuai membuat roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sedangkan dalam budaya Jawa terdapat teks yang menyebutkan: wis tuwa arep ngapa, sudah tua hendak apa lagi. Baiknya memang menyelami keheningan dan kedalaman makna hidup supaya mendapatkan ketenangan jiwa. Hal itu adalah upaya untuk menarik diri dari ombyaking kadonyan, hiruk pikuk kehidupan yang cenderung menjadikan manusia terjebak dalam rutinitas kerja dan ambisi lahiriah yang tiada berujung. Ini merupakan peringatan bagi mereka yang telah berumur namun tak juga mau meninggalkan hal-hal yang tidak lagi penting.
Namun celakanya, tidak semua orang menyadari hal itu. Manusia yang tak mau berhenti dari sikap kesia-siaan itu adalah manusia yang nggugu benere dhewe, rumangsa bisa tapi malah ora bisa rumangsa. Sama halnya dengan sikap egois yang menganggap diri paling benar, tan noleh marang liyan, tidak mau melihat orang lain. Dengan sikap seperti ini, orang lain pun dapat membaca dan mengevaluasi, kian banyak pihak yang menjadi musuh “manusia muspra“ itu.
Budaya Jawa mengajarkan sikap hidup manusia hendaknya didasari atas perhitungan (petung). Kiranya telah banyak dijelaskan dalam primbon Jawa, kapan harus bertindak, kapan harus lebih waspada, atau bahkan menghentikan gerakan. Atas dasar itu, secara tidak langsung, manusia Jawa akan lebih bisa memberi makna atas segala tindakannya. Tentu agar tidak muspra dan ngambraambra.
Pada pewayangan, ada pula cerita lain. Sengkuni dikenal sebagai provokator dan ahli strategi yang berada di balik sejumlah aksi licik Kurawa terhadap Pandawa. Lakon Gandamana Luweng mengisahkan bagaimana ia menyiapkan jebakan luweng (lubang) bagi Patih Gandamana saat berperang melawan negara Pringgandani. Sengkuni melapor kepada Prabu Pandu Dewanata bahwa Gandamana -yang terkubur dalam luwengtertangkap musuh. Setelah Pringgondani berhasil diduduki, Sengkuni melaporkan bahwa Gandamana tewas. Maka ia pun diangkat menjadi patih, menggantikan Gandamana.
Kelicikan lain Sengkuni ada pada lakon Bale Sigala-gala. Pihak Pandawa diundang menghadiri pesta dalam bangunan yang bahannya rawan terbakar. Kurawa lalu membakar bangunan tersebut. Pandawa berhasil diselamatkan Bima. Dalam lakon Pandawa Dadu, dengan kelicikan Sengkuni, Pandawa kalah dan harus menyerahkan kerajaan Astina kepada Kurawa. Tanpa perhitungan matang, mustahil Sengkuni dapat menjalankan taktik menyingkirkan Pandawa.
Petung -mungkintak hanya digunakan untuk kebaikan semata. Semua diperhitungkan dalam rangka meminimalkan kegagalan. Dan kini, Sengkuni menjelma. Dengan dalih kepentingan bersama, tak segan-segan “Sengkuni” mengorbankan banyak orang dan menyebabkan penderitaan panjang. Namun, fitnah dan menghalalkan segala cara tak ubahnya meludahi langit. Ia akan kembali kepada empunya.
Pada hari ke-17 perang Bharatayuda, Bima menghajar Sengkuni. Mulutnya disobek menjadi dua bagian. Demikian pula tubuhnya diceraiberaikan dan dilempar ke berbagai penjuru. Beberapa dalang meyakini, lantaran hal itu maka "roh" Sengkuni hidup di mana-mana.
Semua yang berlebihan itu tidak baik. Bersikap muspra, adalah bukti ketidakmampuan menahan diri. Tak ubahnya anak-anak yang kewaregen (kekenyangan) saat makan, ia belum bisa mengontrol berapa banyaknya makanan yang harus dilahap. Asalkan enak, masih saja memakan. Muspra kemudian sering dikaitkan dengan nafsu duniawi yang selalu lekat dengan manusia.
Ikhwal kesia-siaan, cerita pewayangan telah banyak memberi gambaran. Alkisah, Subali kala itu berjuang bersama adiknya, Sugriwa, untuk menyelamatkan Dewi Tara. Misi penyelamatan itu ditempuh setelah mendapat wangsit dari dewa di tengah usaha mereka untuk talak brata, menahan diri untuk menebus dosa. Subali berpesan kepada adiknya, bila nanti darah yang mangalir dari dalam gua berwarna merah, berarti ia berhasil mengalahkan Maesasura, raksasa yang menculik Dewi. Namun bila darah itu berwarna merah bercampur putih, maka Subali yang kalah. Sugriwa diminta untuk menutup pintu gua supaya raksasa tak bisa keluar.
Beberapa saat setelah peperangan, darah yang keluar ternyata merah bercampur putih. Sugriwa yang berjaga di depan pintu, kaget dan langsung menutupnya. Ia kemudian bergegas pergi, mengikuti Sang Dewi yang telah dahulu melenggang ke kahyangan. Syahdan, mereka menikah. Bathara Indra menganggap Sugriwa berjasa hingga pantas mendapatkan anaknya. Beberapa saat setelah itu, di luar gua, Subali teramat kecewa pada adiknya. Ia sebenarnya menang. Aliran darah yang keluar dari gua adalah milik penculik yang telah dikalahkan. Subali ke kahyangan, hampir membunuh Sugriwa.
Resi Gotama segera menengahi setelah melihat kedua anaknya berlaga. Resi menjelaskan kesalahan Subali, ia dianggap bersalah karena telah mengaku berdarah putih, sumuci-suci. Segala usahanya menebus dosa sia-sia karena kesombongan. “Subali, tanpa guna kowe talak brata taun-taunan, muspra pegaweyanmu, mubadir pegaweyanmu, Subali!“ Bebas Memilih Manusia bebas menentukan pilihan dan tidak dapat menyalahkan orang lain. Karena ia bisa menolak dan menerima pilihan yang dihadapkan pada diri sendiri. Kebebasan itu tentu bukan tanpa rasa tanggung jawab. Semua pilihan hendaknya dilandasi sikap etis, sesuai dengan aturan.
Sedangkan untuk dapat hidup serta untuk menentukan rencana dan kemudian berusaha keras mencapai tujuannya sendiri, yaitu mewujudkan apa yang dicita-citakan, tiap manusia harus pula “mengenali diri sendiri“. Tanpa hal itu, manusia tak akan dapat memanfaatkan anugerah Tuhan berupa potensi dan kekuatan pada dirinya untuk mencapai masa depan yang serasi, selaras, dan damai, seperti yang diidamkan. Kebahagiaan hidup dalam kedamaian hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki dan mempertahankan sikap mental yang baik dan ketenteraman dalam batin.
Nasrudin dalam buku Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa (2008) menyebutkan, orang yang membawahi raja pun harus diuji dengan cara yang berbau duniawi, yaitu perempuan dan harta, selain juga kemampuan dan keberanian. Hasil yang acap kali mengecewakan adalah ketika diuji perempuan. Ini membuktikan, bawahan raja belum lulus “uji materi“. Masih tergoda hal duniawi yang kelak mengganggu proses pemerintahan.
Meskipun demikian, Nasrudin menyebutkan, pejabat yang telah dahulu menduduki takhta sering kali menyalahgunakan jabatannya. Banyak yang diangkat atas dasar persaudaraan, bukan berdasar kompetensi yang dimiliki. Tentu saja hal ini kemudian menjadi mubazir, posisi itu tidak ditempati oleh orang yang semestinya. Kompetensi dan wilayah kerja yang tidak sesuai membuat roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sedangkan dalam budaya Jawa terdapat teks yang menyebutkan: wis tuwa arep ngapa, sudah tua hendak apa lagi. Baiknya memang menyelami keheningan dan kedalaman makna hidup supaya mendapatkan ketenangan jiwa. Hal itu adalah upaya untuk menarik diri dari ombyaking kadonyan, hiruk pikuk kehidupan yang cenderung menjadikan manusia terjebak dalam rutinitas kerja dan ambisi lahiriah yang tiada berujung. Ini merupakan peringatan bagi mereka yang telah berumur namun tak juga mau meninggalkan hal-hal yang tidak lagi penting.
Namun celakanya, tidak semua orang menyadari hal itu. Manusia yang tak mau berhenti dari sikap kesia-siaan itu adalah manusia yang nggugu benere dhewe, rumangsa bisa tapi malah ora bisa rumangsa. Sama halnya dengan sikap egois yang menganggap diri paling benar, tan noleh marang liyan, tidak mau melihat orang lain. Dengan sikap seperti ini, orang lain pun dapat membaca dan mengevaluasi, kian banyak pihak yang menjadi musuh “manusia muspra“ itu.
Budaya Jawa mengajarkan sikap hidup manusia hendaknya didasari atas perhitungan (petung). Kiranya telah banyak dijelaskan dalam primbon Jawa, kapan harus bertindak, kapan harus lebih waspada, atau bahkan menghentikan gerakan. Atas dasar itu, secara tidak langsung, manusia Jawa akan lebih bisa memberi makna atas segala tindakannya. Tentu agar tidak muspra dan ngambraambra.
Pada pewayangan, ada pula cerita lain. Sengkuni dikenal sebagai provokator dan ahli strategi yang berada di balik sejumlah aksi licik Kurawa terhadap Pandawa. Lakon Gandamana Luweng mengisahkan bagaimana ia menyiapkan jebakan luweng (lubang) bagi Patih Gandamana saat berperang melawan negara Pringgandani. Sengkuni melapor kepada Prabu Pandu Dewanata bahwa Gandamana -yang terkubur dalam luwengtertangkap musuh. Setelah Pringgondani berhasil diduduki, Sengkuni melaporkan bahwa Gandamana tewas. Maka ia pun diangkat menjadi patih, menggantikan Gandamana.
Kelicikan lain Sengkuni ada pada lakon Bale Sigala-gala. Pihak Pandawa diundang menghadiri pesta dalam bangunan yang bahannya rawan terbakar. Kurawa lalu membakar bangunan tersebut. Pandawa berhasil diselamatkan Bima. Dalam lakon Pandawa Dadu, dengan kelicikan Sengkuni, Pandawa kalah dan harus menyerahkan kerajaan Astina kepada Kurawa. Tanpa perhitungan matang, mustahil Sengkuni dapat menjalankan taktik menyingkirkan Pandawa.
Petung -mungkintak hanya digunakan untuk kebaikan semata. Semua diperhitungkan dalam rangka meminimalkan kegagalan. Dan kini, Sengkuni menjelma. Dengan dalih kepentingan bersama, tak segan-segan “Sengkuni” mengorbankan banyak orang dan menyebabkan penderitaan panjang. Namun, fitnah dan menghalalkan segala cara tak ubahnya meludahi langit. Ia akan kembali kepada empunya.
Pada hari ke-17 perang Bharatayuda, Bima menghajar Sengkuni. Mulutnya disobek menjadi dua bagian. Demikian pula tubuhnya diceraiberaikan dan dilempar ke berbagai penjuru. Beberapa dalang meyakini, lantaran hal itu maka "roh" Sengkuni hidup di mana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar