Apa yang akan terjadi bila aku bertemu lelaki yang belum kukenal, dan langsung berkata; "Hai, namaku Dita. Boleh tahu, berapa ukuran kelaminmu?"
Akhir-akhir ini, pikiran itu sering menghampiri, dan mengajakku melihat reaksi, pemikiran, dan akibat, bila aku benar-benar mengucap kalimat itu. Mungkin akan tampak lucu, menegangkan, hingga mengakibatkan tubuhku langsung diberi label; ‘perempuan kelamin' (baca: perempuan pegila sex), karena melontarkan pertanyaaan ‘tabu' macam itu, seperti melontar batu ke sungai. Padahal, bila kupikir, pertanyaan ini sama saja dengan pertanyaan; ‘apa kamu masih perawan?' yang dilontarkan laki-laki pada perempuan.
Adalah hari pertama di bulan lalu, permulaan kepalaku berdenyut memikirkan hal ini. Saat itu, ibu mendorongku untuk segera menikah. Usiaku sudah hampir busuk, katanya. Sementara dari semenjak pernikahan bapak dengan perempuan lain itu, aku tidak pernah lagi menyertakan kata ‘pernikahan' dalam kepalaku. Pernikahan hanya men-sah-kan tinggal bersama antara lelaki-perempuan, men-sah-kan mereka punya anak. Dalam arti khususnya, pernikahan hanya menyoal kelamin, ketubuhan. Pernikahan hanya men-sah-kan hubungan badan dalam pandangan masyarakat, karena jika belum menikah dan melakukan hubungan badan, itu namanya zina. Zina dilarang oleh agama, dan itu juga termasuk tidak bermoral karena manusia sudah seharusnya bermoral. Ah, ah, aku tahu itu. Hanya saja, aku merasa agak lucu dengan konsep ini.
Dan karena ibu yang sudah renta, serta yang terus merengek itulah, akhirnya aku pun meng-iya-kan. "Baiklah, bu. Dita pengen ketemu dulu sama orangnya," ucapku.
Di kafe inilah aku sekarang duduk, dan menunggu lelaki itu. Sembari mereka-reka apa yang nanti akan aku tanyakan, dan dia jawab. Dia tanyakan, dan kujawab. Dan bagaimana jika aku tanya mengenai ukuran kelamin ini? Ah, biar saja, toh aku dan dia ‘akan' menikah. Menikah berarti mengawinkan kelamin juga, bukan?
Jarum jam di tanganku menunjuk angka tepat dari waktu yang aku beritahukan pada ibu. Sekilas, mataku melirik arah pintu masuk. Lelaki itu belum datang juga? Termasuk orang Indonesia juga dia. Orang-orang yang katanya tergolong suka mengelastiskan waktu, terlambat.
"Dita Ayu?" Suara seseorang terdengar dari arah kursi di belakang punggungku. Kepalaku hendak memutar. "Jangan berbalik, kita ngobrol seperti ini saja," suara bass itu kembali terdengar.
"Oh, baiklah. Anda Praditya?" Tanyaku sembari bersandar kembali. Sejak kapan ia di sana?
"Ya. Saya Praditya," jawabnya setengah berbisik. Lama tak ada suara. Pertanyaan yang kususun semula, menguap begitu saja. Aku bertemu calon suami seperti ini? Oh, benar-benar tidak kuduga. "Saya sebenarnya tidak mau bertemu dengan anda," terdengar kembali ia berbicara. Aku menghela nafas. Siapa juga yang mau, kalau tidak karena ibu, aku pun tak mau. "Saya lelaki normal. Tapi, saya hanya tidak mau menikah, karena saya lebih senang hidup seperti sekarang," sambungnya agak lirih.
"Hey! Saya juga tidak mau." Kataku tegas sembari memutar kepala ke sebelah kanan, mengintip raut lelaki itu di kaca. Dia, lelaki itu, kutaksir berusia 30-an. Tingginya, 180-an, dengan raut yang tergolong tampan. "Lumayan," tak sadar aku bergumam bersamaan dengan munculnya raut wajah lelaki itu di kaca, menatapku. Aku menyenyuminya. "Berapa ukuran kelaminmu?" Bisikku tanpa melepas senyum untuknya. Ia menatapku, kaku.
Akhir-akhir ini, pikiran itu sering menghampiri, dan mengajakku melihat reaksi, pemikiran, dan akibat, bila aku benar-benar mengucap kalimat itu. Mungkin akan tampak lucu, menegangkan, hingga mengakibatkan tubuhku langsung diberi label; ‘perempuan kelamin' (baca: perempuan pegila sex), karena melontarkan pertanyaaan ‘tabu' macam itu, seperti melontar batu ke sungai. Padahal, bila kupikir, pertanyaan ini sama saja dengan pertanyaan; ‘apa kamu masih perawan?' yang dilontarkan laki-laki pada perempuan.
Adalah hari pertama di bulan lalu, permulaan kepalaku berdenyut memikirkan hal ini. Saat itu, ibu mendorongku untuk segera menikah. Usiaku sudah hampir busuk, katanya. Sementara dari semenjak pernikahan bapak dengan perempuan lain itu, aku tidak pernah lagi menyertakan kata ‘pernikahan' dalam kepalaku. Pernikahan hanya men-sah-kan tinggal bersama antara lelaki-perempuan, men-sah-kan mereka punya anak. Dalam arti khususnya, pernikahan hanya menyoal kelamin, ketubuhan. Pernikahan hanya men-sah-kan hubungan badan dalam pandangan masyarakat, karena jika belum menikah dan melakukan hubungan badan, itu namanya zina. Zina dilarang oleh agama, dan itu juga termasuk tidak bermoral karena manusia sudah seharusnya bermoral. Ah, ah, aku tahu itu. Hanya saja, aku merasa agak lucu dengan konsep ini.
Dan karena ibu yang sudah renta, serta yang terus merengek itulah, akhirnya aku pun meng-iya-kan. "Baiklah, bu. Dita pengen ketemu dulu sama orangnya," ucapku.
Di kafe inilah aku sekarang duduk, dan menunggu lelaki itu. Sembari mereka-reka apa yang nanti akan aku tanyakan, dan dia jawab. Dia tanyakan, dan kujawab. Dan bagaimana jika aku tanya mengenai ukuran kelamin ini? Ah, biar saja, toh aku dan dia ‘akan' menikah. Menikah berarti mengawinkan kelamin juga, bukan?
Jarum jam di tanganku menunjuk angka tepat dari waktu yang aku beritahukan pada ibu. Sekilas, mataku melirik arah pintu masuk. Lelaki itu belum datang juga? Termasuk orang Indonesia juga dia. Orang-orang yang katanya tergolong suka mengelastiskan waktu, terlambat.
"Dita Ayu?" Suara seseorang terdengar dari arah kursi di belakang punggungku. Kepalaku hendak memutar. "Jangan berbalik, kita ngobrol seperti ini saja," suara bass itu kembali terdengar.
"Oh, baiklah. Anda Praditya?" Tanyaku sembari bersandar kembali. Sejak kapan ia di sana?
"Ya. Saya Praditya," jawabnya setengah berbisik. Lama tak ada suara. Pertanyaan yang kususun semula, menguap begitu saja. Aku bertemu calon suami seperti ini? Oh, benar-benar tidak kuduga. "Saya sebenarnya tidak mau bertemu dengan anda," terdengar kembali ia berbicara. Aku menghela nafas. Siapa juga yang mau, kalau tidak karena ibu, aku pun tak mau. "Saya lelaki normal. Tapi, saya hanya tidak mau menikah, karena saya lebih senang hidup seperti sekarang," sambungnya agak lirih.
"Hey! Saya juga tidak mau." Kataku tegas sembari memutar kepala ke sebelah kanan, mengintip raut lelaki itu di kaca. Dia, lelaki itu, kutaksir berusia 30-an. Tingginya, 180-an, dengan raut yang tergolong tampan. "Lumayan," tak sadar aku bergumam bersamaan dengan munculnya raut wajah lelaki itu di kaca, menatapku. Aku menyenyuminya. "Berapa ukuran kelaminmu?" Bisikku tanpa melepas senyum untuknya. Ia menatapku, kaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar