Sabtu, 12 Mei 2012

Warung Kopi dan Perempuan






Masalah kopi, tak hanya terbatas pada rasa dan aroma. Segala hal ihwal tentang kopi telah melahirkan interpretasi yang beragam. Rasa kopi, manis, pahit atau setengah pahit, adalah ilustrasi nasib keseharian bagi penikmatnya.

Di wilayah Pantura, warung kopi sudah menjadi ciri khas. Warung kopi bak oase di tengah keringnya masalah hidup. Warung kopi adalah ruang publik, tempat bercengkerama seluruh lapisan masyarakat.
Sayang, seiring dengan berjalannya waktu, warung kopi mengalami pergeseran. Dulu warung kopi disuguhkan dengan santun dan elegan. Tapi, saat ini warung kopi identik dengan perempuan berpakaian seksi dan erotis. Sekali lagi, sosok perempuan menjadi pihak pesakitan.

Fenomena ini seakan mengingatkan kita kepada seorang Rara Mendut. Secara ekstrinsik. Ia memang bukanlah pelayan warung kopi, tapi ia hidup melampaui ruang dan waktu. Rara Mendut berjuang untuk mempertahankan identitas diri, kemerdekaan, hingga bargaining position-nya atas kekuasaan dan laki-laki.

Dikisahkan, Sultan Agung mengutus Tumenggung Wiraguna untuk menaklukkan Kadipaten Pati dengan cara damai. Meski Adipati Pati takluk, namun masalah timbul tatkala ia menyerahkan Mendut untuk diboyong ke Mataram. Pasalnya, Mendut sudah jatuh cinta pada Pranacitra. Saking cintanya, Pranacitra pun mengikuti jejak kekasihnya ke Mataram. Berbagai macam cara ditempuh Pranacitra meski menjadi perawat kuda demi memperjuangkan keutuhan cintanya.
Singkat cerita, Mendut dewasa tumbuh menjadi perempuan berani dan tangguh. Ia dengan tegas menyatakan ketidaksukaannya dengan pola hidup keraton. Tak pelak, hal ini membuat mendut dikucilkan dan disuruh mencari nafkah sendiri. Dengan senang hati, Mendut pun menyanggupinya. Ia kemudian berjualan rokok keliling.

Sebagai Objek

Di luar dugaan, rokok yang dijual Mendut bak menghipnotis konsumen, lantaran pesona eksotisme bibir Mendut di tiap lintingan dari kelobot jagung ini. Walhasil, jualannya laku keras berkat bekas sedotan dan liur basah Mendut. Mendut pun akhirnya mampu hidup mandiri.

Nah, Layaknya Rara Mendut yang menghiasi kelobot rokok dengan bibirnya, perempuan warung kopi menawarkan kemolekan tubuhnya di hadapan konsumen. Rasa dan aroma kopi bukan lagi penarik minat pengunjung. Tapi, pesona perempuan warung kopi adalah magnetnya.

Koherensi antara eksotisme fisik perempuan warung kopi dengan kuantitas pengunjung semakin meneguhkan bahwa tubuh perempuan tidak bisa jauh dari dunia marketing. Tubuh perempuan terkonstruksi dengan berbagai macam produk pasar sehingga laku untuk dikonsumsi khalayak.



Ketidakberdayaan terhadap penetrasi pasar semacam itu semakin diperburuk dengan posisi perempuan dalam relasi sosial di masyarakat. Perempuan tidak memiliki kapabilitas untuk memilih menjadi diri sendiri atau hanya berbeda dalam menampilkan ”identitasnya”. Tak ayal, perempuan makin termarjinalkan dalam stereotipe lemah. Tubuh perempuan dipandang memiliki potensi ekonomi.

Tubuh dan wajah perempuan warung kopi dalam wacana kapitalis memainkan peran yang sangat penting. Tubuh dibutuhkan untuk menggerakkan operasionalisasi warung kopi. Tinggi rendahnya nilai tubuh perempuan termanifestasikan lewat ramainya  (banyak sedikitnya) kopi yang terjual.
Sedemikian hebat hegemoni membuat perempuan tidak menyadari bahwa ia telah menjadi objek. Fakta inilah yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai ”the consent of the oppressed” atau ”kerelaan kelompok tertindas”.

Coba bayangkan, betapa banyak keuntungan yang dikeruk oleh pemilik warung kopi dengan hanya memanfaatkan tubuh perempuan. Nahasnya, salah satu yang terburuk dari pola ”politik” tubuh ini adalah bahwa perempuan sudah ”mati rasa” untuk menyadari lagi fungsi sesungguhnya yang sama seperti laki-laki, sama-sama sebagai subjek.
Bukan hanya warung kopi,  kondisi ”mati rasa” ini melanda hampir seluruh perempuan di pelbagai macam produk komersial.

Tidak ada komentar: