Sabtu, 26 April 2008

Apakah Kejujuran Sekadar Formalitas?

Kejujuran merupakan sebuah kosakata yang sering digunakan dalam banyak kesempatan, namun karena sering dimanipulasi, maka kejujuran tidak lagi sesakral artinya. Bagi sebagian orang, kejujuran hanya menjadi pemanis bibir dan formalitas kehidupan.

Kalau dianalogikan maka kejujuran laksana sebatang pohon yang akar-akarnya merupakan integritas dari kebenaran, batang dan rantingnya sebagai kredibilitas dari perbuatan baik, daunnya sebagai sikap dari keteladanan, bunga dan buahnya sebagai rasa kedamaian atas semua kenyamanan batin.

Pada dasarnya semua orang ingin menjadi orang yang jujur dan bisa bermanfaat untuk sesamanya. Tetapi situasi dan kondisi yang sangat beragam dan sarat tantangan hidup, telah menciptakan lingkungan dengan berbagai pola.

Ada individu yang merasa cukup dengan jumlah materi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun tak sedikit orang yang tidak pernah merasa kenyang dan puas, dan cenderung serakah. Sehingga tidak jarang mereka yang mempunyai kedudukan dan kuasa menyalahgunakan kekuasaan atas jabatan yang diembannya. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bagaimana orang yang diberi tanggung jawab menjaga keamanan masyarakat umum justru menjadi pemeras.

Sikap tidak pernah merasa puas tersebut bila didorong oleh pikiran negatif, maka akan menempatkan kejujuran hanya sebagai pemanis pelakunya. Kejujuran sebgai pemanis dan pelanggeng kekuasaan inilah yang dinamakan kejujuran formalitas.

Saat ini, ketika slogan, motto, misi, dan lain sebagainya telah dijadikan sebagai alat propaganda untuk mengekspresikan kejujuran dalam makna kejujuran formalitas sebagai komitmen untuk pelayanan kepada masyarakat. Media masa dan teknologi canggih telah menjadi alat terefektif untuk mensosialisasikan semua nilai-nilai dari kejujuran formalitas. Sehingga pada akhirnya oleh kebanyakan orang berpikiran bahwa kejujuran formalitas itulah kejujuran sesungguhnya. Hal ini telah membuat makna kejujuran bergeser. Kejujuran itu dimaknai sebagai berbohonglah agar Anda tetap eksis dalam perjalanan hidup ini.

Apakah kejujuran sejati telah dikhianati oleh kejujuran formalitas? Apa pun itu jawabannya, kita harus mengakui realitas hidup telah dikuasai oleh kejujuran formalitas. Sementara, kejujuran sejati sudah sangat langka dan hampir punah, dan mungkin tidak ada orang yang ingin melestarikannya.

Kejujuran formalitas yang mulanya menjadi alat propaganda, kini telah melangkah ke dalam kehidupan mental, sosial, dan emosional orang-orang yang masih berbicara tentang moralitas dari persepsi dirinya, namun merasa tidak bahagia dan tidak nyaman akan kesaktian makna kejujuran itu sendiri. Hal ini disebabkan mereka tidak mampu lagi membedakan antara kejujuran formalitas dengan kejujuran sejati. Ketika maknanya sudah tidak bisa dimengerti lagi, maka kekosongan jiwa dan kekacauan pikiran lah yang akan muncul.

Jangan heran kalau banyak orang yang terlihat hebat dan mengagumkan dalam kehidupan ekonomi, namun mereka ternyata hidup dalam kesunyian. Hal inilah yang mendorong sebagian dari mereka akhirnya terjun ke dalam dunia spiritualitas agar mampu mendapatkan kedamaian batin. Tetapi mereka lupa, bahwa kedamaian batin yang sejati hanya mampu diberikan oleh kejujuran sejati.

Apakah manusia mampu hidup dalam kejujuran sejati? Manusia sebenarnya bukanlah simbol kesempurnaan, tetapi manusia tidak lebih dari sebuah kreativitas tanpa batas yang selalu hidup dalam ketidaksempurnaan.

Perjalanan hidup setiap orang di dunia ini secara pasti akan melalui berbagai tikungan bahagia, dan berbagai tikungan penderitaan. Kedua tikungan ini merupakan takdir dari sebuah perjalanan hidup yang tidak bisa dimaknai dengan kejujuran formalitas. Bahagia dan penderitaan adalah sebuah kejujuran sejati yang tidak mungkin bisa diingkari oleh siapapun. Oleh karena itu, sudah saatnya setiap orang mulai memikirkan makna hidup sesungguhnya dalam wujud kejujuran sejati.

Kejujuran formalitas hanya akan menjadi ladang subur bagi penderitaan mental, emosi, dan kedamaian jiwa. Kejujuran formalitas telah mengkhianati kejujuran sejati dalam semua aspek kehidupan. Dan hal ini jelas akan menciptakan dampak yang besar kepada pertumbuhan pikiran positif. Apabila pikiran positif mulai melemah, maka pikiran negatif akan menguasai semua aspek kehidupan dari seseorang, jelas ini akan menjadikan orang tersebut hidup dalam ketidakstabilan jiwa dan raga.

Kejujuran sejati seharusnya dilestarikan dan dirawat oleh setiap orang dalam pikiran dan perilakunya secara wajar dan baik, dan menyingkirkan kejujuran formalitas dari semua lingkungan kehidupan setiap orang agar kehidupan ini bisa memberi makna damai dan bahagia kepada setiap manusia.

Pertanyaannya adalah, apakah manusia mampu hidup dalam kejujuran sejati dalam lingkungan dunia yang penuh godaan hidup dalam kemewahan ini? Silakan Anda renungkan sendiri. Pastikan Anda adalah seorang pribadi yang mampu melestarikan kejujuran sejati.

1 komentar:

Siska WP mengatakan...

*lagi merenung nih*