Dari anak-anak hingga punya anak, entah kenapa suara kucing bertengkar itu selalu dekat dengan hidupku. Mungkin karena kedudukanku sebagai orang kampung karena pertengkaran semacam itu memang cuma mungkin dilakukan oleh kucing-kucing kampung.
Aku tidak tahu penyebab pertengkaran mereka, tetapi begitu sudah mulai bertengkar, seluruh watak kucing itu seperti lenyap dan yang tersisa cuma horornya.
Yang pertama-tama meneror adalah suaranya. Ia campuran antara mengeong, menyalak dan beteriak. Mengeong karena memang begitulah kucing. Menyalak karena jika cuma mengeong, sungguh tidak cukup mewakili hati yang sedang diamuk kemarahan. Beteriak, karena dalam berengkar, bahkan hewan butuh menjadi kalap dan lupa daratan.
Jangankan cuma dipisahkan dengan hardikan, dengan seember air sekalipun, kucing-kucing itu bisa tidak peduli jika sudah mabuk pertengkaran. Untuk benar-benar memisahkan keduanya kadang semua cara harus dijalankan.
Inilah persoalannya, kucing bertengkar itu selalu menyulut kemarahan pendengarnya. Maka orang-orang yang marah itu bisa keluar rumah dengan sebaskom air di tangan dan dengan rahang gemeratak untuk segera menebar hujan buatan. Kadang-kadang cara ini membantu.
Kucing itu bisa kaget dan tunggang langgang. Tetapi jika pertengkaran mereka sudah sedemikian murka, siraman air itu tak digubrisnya.
Ada kalanya butuh sedikit tendangan kungfu. Sejenak tendangan itu memang bisa membubarkan. Tetapi jika kemarahan mereka sudah sampai di ubun-ubun, kucing ini hanya akan lari untuk kemudian bertengkar lagi, celakanya dalam jarak yang tak terjangkau oleh tendangan lagi.
Maka jadilah kemarahan berantai. Kucing yang kepalang marah itu meneruskan pertengkarannya, sementara manusia yang kepalang marah ini juga harus melampiaskan kemarahannya. Jalan satu-satunya adalah memungut batu dan melempar kucing itu dengan seluruh kemarahan yang ada.
Dan inilah risiko lemparan orang yang marah itu, ia bisa demikian keras, tetapi bisa demikian luput! Ketika batu kedua hendak dipungut, kucing celaka itu sudah bubar entah ke mana!
Sungguh berbahaya sekali pelempar yang gagal ini. Ia bisa pulang dengan kemarahan menumpuk di kepala dan tak tahu ke mana gerangan ia harus disalurkan. Padahal yang belum aku ceritakan ialah, bahwa kucing ini selalu memilih bertengkar di waktu yang keliru. Yakni ketika malam sedang larut, dan tidur sedang amat lelapnya.
Bisa dibayangkan bahwa orang yang keluar dengan sebaskom ember itu, yang menendang dan memungut batu serta melakukan lemparan yang gagal itu adalah orang yang semula sudah lelap tertidur untuk dipaksa bangun lalu marah dan gagal menyalurkan kemarahnnya.
Betapa malamnya akan menjadi jahanam. Itulah bahaya kucing yang bertengkar di larut malam, dan hampir selalu di larut malam ketika tidur sedang enak-enaknya.
Maka di masa kecilku dulu, malam yang berhiaskan pertengkaarn kucing dianggap bertanda buruk. Keburukan yang nyata pastilah karena ia merusak tidur dengan segala akibatnya. Aku sudah berkali-kali dihajar keadaan ini. Tetapi pertengkaran kucing yang terjadi baru-baru ini, juga ketika malam sudah larut, aku dengarkan dengan cara yang berbeda.
Semula, begitu pecah pekikan pertama mereka, tersulut sejenak instink kemarahanku. Tergerak juga untuk melakukan prsosedur serupa tetanggaku dulu, keluar rumah, menentang ember, menebar hujan buatan atau malah melakukan tendangan kungfu. Tetapi aduh, cara itu terlalu boros energi dan merusak malam.
Maka setiap erangan kucing yang sedang marah itu kubayangkan sebagai tarikan pedal gas sepeda motor di sebuah sirkuit, dengan aku sendiri sebagai pebalapnya. Hasilnya ajaib.
Setiap kucing itu memekik marah, aku serasa menikung dengan kecepatan 120 km perjam menyaingi Valentino Rossi pembalap favoritku. Seterusnya aku berdamai dengan perasaanku dan tertidur sambil balapan. Enak sekali!
1 komentar:
the doctorrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
Posting Komentar