Musim hujan tahun ini bukan cuma membuahkan banjir di kotaku, tetapi juga kebocoran besar di rumahku. Semua boleh kena bocoran tapi jangan buku, itulah harapanku. Aku boleh berharapan tapi hujanlah yang menentukan. Begitu deras air itu sehingga menimbulkan tingkat kebocoran yang belum pernah aku bayangkan. Air itu mengalir ke segenap penjuru dan menghajar hingga rak buku, celakanya tanpa setahuku. Ketika tersadar segalanya telah terlambat. Deretan buku yang terendam diam-diam itu telah lengket satu sama lain tanpa bisa dicegah.
Semula aku berharap, bocor itu hanya membasahi satu dua buku. Dengan berdebar aku mengambil deret berikutnya. Lengket juga. Kuharap itu yang terakhir. Tetapi ketika aku mengambil sebelahnya, lagi-lagi lengket juga. Ketika dengan kalap aku menurunkan buku-buku itu seluruhnya, aku cuma bisa terdiam lama. Lengket kolosal.
Reaksi pertama yang harus aku putuskan adalah menenangkan diri. Otakku cepat sekali membongkar ingatan tentang seorang profesor yang rumahnya terbakar. Bagian paling sulit ialah ketika ia harus memandang perpustakaan pribadinya tandas dimakan api. Profesor terkenal ini nyaris hilang ingatan karena pukulan hebat di batinnya. Spirit cerita itu menguatkan hatiku, walau memandangi aneka buku rusak itu adalah pemandangan menyakitkan. Aku boleh sakit, tapi tak boleh hilang ingatan, tekatku.
Sakit, karena romantismeku terhadap buku besar sekali. Semua bermula dari masa kanak-kanakku yang amat obsesif menjadi "orang pintar". Di masa kecilku, gambaran orang pintar itu pada mulanya tak ada kaitannya dengan buku, tetapi sekadar orang berilmu. Dan sebutan ilmu itu pun bukan dalam pengertian ilmiah seperti kemampuan menemukan software komputer, memecahkan rumus matematika dan semacamnya, tetapi cukup ketika seseorang yang katanya bisa melihat setan, dibacok tidak mempan, atau malah jajan tidak bayar karena habis makan bisa langsung menghilang.
Tetapi intinya, sebutan "orang pintar" saat itu amat dihormati tetangggaku. Kalau ada orang kesurupan, kepadanya kami mengadu. Kalau ada si fulan sakit, kepadanya kami berobat. Jika warga bertengkar, cuma dia yang sanggup menjadi juru damainya. Menjadi orang pintar seperti itulah ada awalnya cita-citaku.
Tetapi ketika mulai sekolah, rumus kepintaran ini mulai bergeser. Di tengah kampungku yang penuh penduduk buta huruf, kemampuan membaca adalah sihir yang mempesona. Maka membaca adalah godaanku selanjutnya. Karena cukup cuma dengan bisa membaca, seluruh kesulitan yang menyangkut soal huruf akan dibawa kepadaku. Melihat orang-orang takjub saat melihat aku mengeja sekata demi sekata, perasaanku seperti Tom Hanks saat menerima Piala Oscar-nya yang pertama.
Ketika sekolahku meningkat, membaca saja tidak cukup sebagai gaya, melainkan sudah menyangkut jenis apa yang aku baca. Menenteng buku-buku berat adalah kesukaanku meskipun aku tak paham apa isinya. Ketika seseorang yang kutaksir mengomentari betapa hebat bacaanku, sungguh bangga hatiku. Aku di hari ini pun sebetulnya belum lepas dari kebutuhan bergaya lewat buku ini, meskipun tentu saja dengan lagak yang berbeda. Kupenuhi seluruh rak dengan deretan buku, kalau perlu terbal-tebal, kalau perlu seluruh rumahku harus dikepung buku. Apakah kubaca seluruhnya? Tidak. Setenganhya lebih untuk membuat agar tercengang tamu-tamuku. Kalau aku difoto, di depan rak itulah gaya favoritku.
Dan itulah buku yang kini cuma menjadi lengket oleh air hujan. Satu persatu aku meneliti mana yang masih bisa diselamatkan dan mana yang harus direlakan. Pemilihan ini, membuatku punya kesempatan melihat lagi buku-buku ini dan menyadarkan betapa terlalu lama barang-barang ini cuma menjadi pajangan. Jangankan untuk membaca seluruhnya bahkan untuk melihat kembali judul-judulnya saja, alam butuh mengirim kebocoran di rumahku. Buku-buku ini mungkin berdoa: Kirimkan hujan lebat untuk membasahiku agar pembeli buku yang suka bergaya ini punya kesempatan menengok walau sekedar judul-judulku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar