Tangisan selalu dimulai dari perempuan. Setidaknya, begitulah yang acap kita lihat di layar televisi. Di acara “Masihkah Kau Mencintaiku???” yang tayang setiap Rabu malam di RCTI misalnya, 15 menit terakhir pasti diwarnai air mata. Bahkan, tangisan penonton perempuan itu seakan menjadi menu, karena ditampilkan secara close-up, dari satu wajah ke wajah penonton yang lain, mulai gerakan menyusut air mata, menutupkan sapu tangan ke wajah, sampai tarikan napas berat menahan sedan.
Tangisan penonton itu sekilas terlihat wajar. Maklum, di 15 menit terakhir, Helmi dan Dian Nitami memang mengondisikan acara untuk masuk dalam suasana haru melalui peluk dan isakan; narasumber yang bermaafan. Penonton terbawa, air mata tersita. Namun, tangisan penonton perempuan itu juga tumpah untuk acara yang tak dikondisikan berharu-haruan. Di “D-Show” TransTV Senin (4/5) misalnya, acara itu penuh tawa. Julia Perez membuat Desi Ratnasari tergelak, meski dia bercerita tentang ibunya yang menolak Gaston Castanyo. Dialog ibu-anak itu menyegarkan, seperti percakapan mereka di dapur rumah, tanpa basa-basi, apa adanya. Tapi, tawa penonton itu secara cepat berubah jadi tangisan ketika narasumber yang lain, Siska, mengungkapkan juga penolakan ibunya untukasmara dia dan suaminya. Perpindahan tangis ke tawa ini terasa menakjubkan. Betapa gampang penonton perempuan merasa, terlena….
Bahkan, tangisan semacam itu juga terjadi di acara musik.
Okky Lukman yang berhasil membawa hadiah Rp 100 juta dalam acara “Missing Lyrics” Trans TV, juga memancing tangisan penonton. Okky, memeluk ibunya, jejingkrakan tertawa-tawa. Di sekitar panggung, beberapa menonton menyusut air mata. Ajaib. Di final “Dream Girl” Global TV (13/5) yang mempertemukan trio Topodade dan 3G, penonton bahkan terisak nyaris sepanjang acara. Padahal, di panggung tak ada pertunjukan keharuan ala “Indonesian Idol”, “Idola Cilik”, atau “AFI”. Topodade hanya bernyanyi, sebaik-baiknya. Bukan lagu sedih, terutama ketika bersama Idol Divo mereka menyanyikan “Hitam” milik Andra & The Backbone. Dan penonton, juga Sita RSD yang menjadi juri, tak hanya memberi tepukan, tapi juga tangisan.
Haru. Sesak. Isak.
Air mata.
Bagaimana bisa bertandang?
Kecairan Identitas
Ya. Dari mana datangnya air mata? Mengingat, bahkan acara sejenis “Masihkah Kau Mencintaiku???” saja, menyisakan lobang logika, sehingga amat terlihat yang terjadi di panggung adalah semata rekayasa. Kesedihan di pentas itu, seharusnya, tak akan memancing tangis. Apalagi nyanyian Topodade. Tapi, kritikus Macherey punya jawaban. Dalam bukunya, A Theory of Literary Production, dia mengatakan setiap pembaca, juga penonton, selalu berada di antara representasi dan figurasi. Representasi adalah tujuan yang ingin disampaikan, subjek narasi, niatan. Sedangkan figurasi merupakan pembubuhan di dalam narasi, yang kadang hadir melalui efek pembayangan. Dalam tindak figurasi, pembaca atau penonton melakukan produksi teks atau cerita sendiri. Dengan kata lain, terjadi “pembentukan” teks atau cerita baru di benak penonton yang bisa jadi berbeda dari yang tersaji di atas panggung. Bahasa gampangnya, penonton melakukan pengkhayalan kembali.
Pendapat Macherey di atas didukung oleh Thomas Elsaesser. Dalam Cinema Futures: Cain, Abel or Cable? The Screen Art in the Digital Age, dia menulis bahwa televisi yang visual sangat mendorong efek figural, menghadirkan dunia tiruan, dunia bayangan. Penonton pun tumbuh dan hidup dalam dunia rekaan. Jadi, jika pun ada tangis, air mata itu tumpah bukan karena cerita yang tersaji, melainkan lebih karena proses keterlibatan dalam sebuah “kesedihan yang dibayangkan, direka-ulang”.
Tapi mengapa penonton perempuan? Neil Postman punya jawaban. Sebagaimana yang juga dikutip Wilson Sitorus, dalam Amusing Ourselves to Death, Postman mengatakan televisi merupakan dunia kapitalis laki-laki yang tak ramah kepada masyarakat lain di luar itu. Dan sebagai “wakil” lelaki, televisi sangat digdaya menghadirkan dan memancing figur/cerita khayalan. Penonton perempuan adalah mangsa, korban. Meski pandangan Postman ini mulai diragukan para feminis, terutama oleh Gamman dan Marshment melalui The Female Gaze: Women as Viewrs of Popular Culture, tapi di dunia ketiga, televisi memang masih menjadi wakil pria.
Di Indonesia, pendapat Postman didukung data AGB Nielsen, bahwa penikmat terbesar televisi adalah perempuan. Dan efek figurasi itu makin kuat karena penonton perempuan tadi berasal dari strata sosial dan ekonomi D-E. Artinya, pendidikan penonton perempuan ini sebagian besar maksimal SMP, dengan pengeluaran bulanan tak lebih dari satu juta rupiah, dengan ketidakmampuan memiliki barang mewah seperti kulkas dan penyejuk ruangan. Mereka adalah ibu-ibu dan gadis.
Namun, lebih dari faktor pendidikan dan ekonomi, pembayangan cerita dan keterlibatan penonton tercipta karena proses pembentukan identitas feminin dalam model cerita sinematik. Mengikuti argumen Stacey dalam Star Gazing: Hollywood and Female Spectatorship, figurasi terjadi karena tercipta kecairan sementara (temporary fluidity) di antara identitas penonton dan aktor. Kecairan dan “pertukaran” identitas itu biasanya dipicu faktor kesamaan keinginan, nasib, dan hasrat-hasrat yang secara potensial ingin mereka penuhi. Maka, apa yang terjadi di atas panggung, secara sementara, tercipta juga pada penonton. Kesedihan, tangis, meskipun itu rekayasa pemanggungan, bagi penonton, bukan hanya sebuah tayangan melainkan menjadi internalisasi diri, dirasakan, dialami….
Penonton perempuan melompat ke dalam cerita, memainkan perannya. Maka wajar, jika kemudian mereka bersimbah air mata.
Tangisan penonton itu sekilas terlihat wajar. Maklum, di 15 menit terakhir, Helmi dan Dian Nitami memang mengondisikan acara untuk masuk dalam suasana haru melalui peluk dan isakan; narasumber yang bermaafan. Penonton terbawa, air mata tersita. Namun, tangisan penonton perempuan itu juga tumpah untuk acara yang tak dikondisikan berharu-haruan. Di “D-Show” TransTV Senin (4/5) misalnya, acara itu penuh tawa. Julia Perez membuat Desi Ratnasari tergelak, meski dia bercerita tentang ibunya yang menolak Gaston Castanyo. Dialog ibu-anak itu menyegarkan, seperti percakapan mereka di dapur rumah, tanpa basa-basi, apa adanya. Tapi, tawa penonton itu secara cepat berubah jadi tangisan ketika narasumber yang lain, Siska, mengungkapkan juga penolakan ibunya untuk
Bahkan, tangisan semacam itu juga terjadi di acara musik.
Okky Lukman yang berhasil membawa hadiah Rp 100 juta dalam acara “Missing Lyrics” Trans TV, juga memancing tangisan penonton. Okky, memeluk ibunya, jejingkrakan tertawa-tawa. Di sekitar panggung, beberapa menonton menyusut air mata. Ajaib. Di final “Dream Girl” Global TV (13/5) yang mempertemukan trio Topodade dan 3G, penonton bahkan terisak nyaris sepanjang acara. Padahal, di panggung tak ada pertunjukan keharuan ala “Indonesian Idol”, “Idola Cilik”, atau “AFI”. Topodade hanya bernyanyi, sebaik-baiknya. Bukan lagu sedih, terutama ketika bersama Idol Divo mereka menyanyikan “Hitam” milik Andra & The Backbone. Dan penonton, juga Sita RSD yang menjadi juri, tak hanya memberi tepukan, tapi juga tangisan.
Haru. Sesak. Isak.
Air mata.
Bagaimana bisa bertandang?
Kecairan Identitas
Ya. Dari mana datangnya air mata? Mengingat, bahkan acara sejenis “Masihkah Kau Mencintaiku???” saja, menyisakan lobang logika, sehingga amat terlihat yang terjadi di panggung adalah semata rekayasa. Kesedihan di pentas itu, seharusnya, tak akan memancing tangis. Apalagi nyanyian Topodade. Tapi, kritikus Macherey punya jawaban. Dalam bukunya, A Theory of Literary Production, dia mengatakan setiap pembaca, juga penonton, selalu berada di antara representasi dan figurasi. Representasi adalah tujuan yang ingin disampaikan, subjek narasi, niatan. Sedangkan figurasi merupakan pembubuhan di dalam narasi, yang kadang hadir melalui efek pembayangan. Dalam tindak figurasi, pembaca atau penonton melakukan produksi teks atau cerita sendiri. Dengan kata lain, terjadi “pembentukan” teks atau cerita baru di benak penonton yang bisa jadi berbeda dari yang tersaji di atas panggung. Bahasa gampangnya, penonton melakukan pengkhayalan kembali.
Pendapat Macherey di atas didukung oleh Thomas Elsaesser. Dalam Cinema Futures: Cain, Abel or Cable? The Screen Art in the Digital Age, dia menulis bahwa televisi yang visual sangat mendorong efek figural, menghadirkan dunia tiruan, dunia bayangan. Penonton pun tumbuh dan hidup dalam dunia rekaan. Jadi, jika pun ada tangis, air mata itu tumpah bukan karena cerita yang tersaji, melainkan lebih karena proses keterlibatan dalam sebuah “kesedihan yang dibayangkan, direka-ulang”.
Tapi mengapa penonton perempuan? Neil Postman punya jawaban. Sebagaimana yang juga dikutip Wilson Sitorus, dalam Amusing Ourselves to Death, Postman mengatakan televisi merupakan dunia kapitalis laki-laki yang tak ramah kepada masyarakat lain di luar itu. Dan sebagai “wakil” lelaki, televisi sangat digdaya menghadirkan dan memancing figur/cerita khayalan. Penonton perempuan adalah mangsa, korban. Meski pandangan Postman ini mulai diragukan para feminis, terutama oleh Gamman dan Marshment melalui The Female Gaze: Women as Viewrs of Popular Culture, tapi di dunia ketiga, televisi memang masih menjadi wakil pria.
Di Indonesia, pendapat Postman didukung data AGB Nielsen, bahwa penikmat terbesar televisi adalah perempuan. Dan efek figurasi itu makin kuat karena penonton perempuan tadi berasal dari strata sosial dan ekonomi D-E. Artinya, pendidikan penonton perempuan ini sebagian besar maksimal SMP, dengan pengeluaran bulanan tak lebih dari satu juta rupiah, dengan ketidakmampuan memiliki barang mewah seperti kulkas dan penyejuk ruangan. Mereka adalah ibu-ibu dan gadis.
Namun, lebih dari faktor pendidikan dan ekonomi, pembayangan cerita dan keterlibatan penonton tercipta karena proses pembentukan identitas feminin dalam model cerita sinematik. Mengikuti argumen Stacey dalam Star Gazing: Hollywood and Female Spectatorship, figurasi terjadi karena tercipta kecairan sementara (temporary fluidity) di antara identitas penonton dan aktor. Kecairan dan “pertukaran” identitas itu biasanya dipicu faktor kesamaan keinginan, nasib, dan hasrat-hasrat yang secara potensial ingin mereka penuhi. Maka, apa yang terjadi di atas panggung, secara sementara, tercipta juga pada penonton. Kesedihan, tangis, meskipun itu rekayasa pemanggungan, bagi penonton, bukan hanya sebuah tayangan melainkan menjadi internalisasi diri, dirasakan, dialami….
Penonton perempuan melompat ke dalam cerita, memainkan perannya. Maka wajar, jika kemudian mereka bersimbah air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar