SEPULUHAN tahun lalu, Hughes mulai memikat penikmat televisi. Bukan, bukan karena dia cantik dan seksi. Hughes gemuk, pipinya tambun, pahanya gempal, dan jika tertawa, dia bergelak. Tawa atau senyum yang bukan lahir dari sekolah kepribadian. Seluruh penampilan dirinya adalah anomali di dunia industri televisi, yang mengagungkan citra ketubuhan.
Tapi Hughes melesat. Kecerdasan dan kemampuan komunikasi yang mumpuni membuat penikmat televisi tak mereweli tubuh Hughes. Apalagi, jika pun soal bobot itu dipertanyakan, Hughes selalu menjawab dengan riang dan cerdas.
“Yang utama itu bukan gemuk atau kurus melainkan sehat atau tidak. Banyak yang bertubuh seksi tapi hidup tidak sehat. Begitu juga sebaliknya. Sepanjang orang tersebut nyaman dengan tubuhnya, berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan,” jelasnya dalam berbagai kesempatan.
Dan Hughes membuktikan hal itu.
Bobotnya yang di atas 100kg, tak mampu menahan aktivitasnya. Dia rajin berpindah kota, menularkan kecintaan dan cara mendidik anak-anak. Di atas panggung, geraknya pun amat leluasa, seirama dengan kemampuannya melantunkan diksi dalam setiap pertanyaan. Sebagai presenter, Hughes mampu menjembatani kebutuhan pembaca untuk mendapatkan informasi yang jernih. Tak heran, seirama penerimaan masyarakat atas dirinya, Hughes pun mulai mengampanyekan “Big is Beautiful”, besar itu indah. Hughes adalah contohnya.
Tapi itu dulu, sepuluh tahun lalu.
Lima tahun terakhir, Hughes jarang sekali tampil di televisi. Kecerdasannya, juga bobot tubuhnya, tak lagi dapat dinikmati pemirsa. Begitulah industri televisi, yang mengabdi dan mengabadikan politik tubuh. Keanomalian Hughes tak lagi “layak” jual, terutama ketika presenter yang cerdas tak lagi dibutuhkan. Penikmat teve sudah puas untuk tergelak bersama Tukul dan Budi Anduk, tanpa kedalaman, tanpa penikmatan pada kemampuan mengorek informasi. Hughes pun menjadi samar, terlupakan, menghilang….
Baru dua minggu terakhir ini Hughes kembali melenggang di layar kaca dan tabloid gosip. Bukan karena acara baru atau gosip rumah tangganya melainkan bentuk tubuhnya. Hughes kini tak segemuk dulu. Tubuh tambunnya sudah menyusut, demikian juga pipi gempalnya. “Iya, aku telah berhasil menurunkan 25kg berat badanku,” akunya sembari tertawa. Kamera pun kemudian menyoroti tubuhnya, dari kaki ke kepala, dan close-up pada wajah Hughes yang tampak cerah dan tertawa bahagia. Mungkin juga bangga.
Jika dulu Hughes memulai di layar kaca dengan “keajaiban” tubuhnya, kini dia kembali dengan pembuangan pada anomali itu. “Aku mau menurunkan 25 kilogram lagi,” tambah Hughes di Hotel Indonesia Kempinski dalam acara “Kartini in Me”. Dan seluruh cerita Hughes akhirnya adalah sejarah penurunan berat badan itu. “Olahraga. Sejak Januari aku olahraga 5-6 jam,” ceritanya. “Awalnya dimulai dengan naik sepeda selama 1 jam. Lalu treadmill. Mulanya, kalori yang terbakar selama 2 jam hanya 200 kalori. Selanjutnya naik terus hingga mencapai 1200 kalori selama 5-6 jam. Tapi aku imbangi lagi dengan diet. Aku tidak mengonsumsi karbohidrat,” tambahnya. Artinya, Hughes tak lagi menyentuh nasi, roti, dan jenis pati lainnya.
Perjuangan yang luar biasa. Media pun memamah “sejarah tubuh” itu, menyiarkan, untuk kian menguatkan mitos kecantikan.
Hughes memang menyadari kemungkinan penunggangan “ideologisasi” kecantikan itu. Dia pun mencoba kembali memakai mantra lamanya, penurunan berat badan itu bukan untuk mempercantik diri. “Nggaklah. Aku tetap bangga dengan bentuk tubuhku yang gemuk. Kalau sekarang lebih kurus itu karena ingin sehat. Nggak lebih.” Ceritanya, akhir tahun kemarin, dia acap jatuh dan merasa tubuhnya terlalu berat. Jika berjalan di tempat licin, dia acap terjatuh. Karena itulah, dia ingin kurus, untuk sehat, bukan mencari cantik.
Benarkah? Bukan karena permintaan suami, Roy Immanuel? “Sebenarnya Mas Roy tidak menuntut aku kurus, yang penting sehat saja. Tapi kemarin dia bilang aku lebih cantik kurusan. Hidung aku sekarang juga terlihat lebih mancung. Kelihatannya dia makin cinta. Senang juga sih dipuji suami,” akunya.
Seperti menyadari kontradiksi dari pernyataan di atas, Hughes cepat menambah, “Kecantikan itu bukan dari ukuran dan bentuk tubuh. Kurus itu pola pikir. Selalu berpikiran positif dan enjoy your life. Itu kuncinya. Cantik itu tidak perlu kurus.”
Kredo yang indah. Sayang, terdengar jadi semacam basa-basi, semacam upaya untuk terlihat tak mengkhianati “besar itu indah”. Karena, jika nanti target Hughes terpenuhi, turun 25 kg lagi, bobotnya hanya 60-an kilogram. Tubuhnya tak hanya terlihat sehat tapi juga seksi. Ahh, barangkali, itulah kini yang dikejar Hughes, untuk kian mendapatkan pujian dari suami, dan tentu, lirikan televisi. Sesuatu yang tak salah memang, seandainya kurus dan gemuk tak pernah dia jadikan semacam pengideologian.
1 komentar:
NICE WRITING
Posting Komentar