Kita hidup dengan arloji, dan karena itu kita acap tak mampu menyimpan memori.
Arloji, adalah gerak ke depan, tik-tok waktu yang tak pernah kembali. Dalam “hidup arloji”, yang ditinggalkan memang tak dilupakan, tapi diogahi. Masa lalu masih ada, namun tak penting. Celakanya, masa lalu yang tak penting itu hidup dalam “ingatan kolektif yang abai”.
Hari-hari ini, ideologi arloji itu, saya temukan lagi dalam sikap Krisdayanti.
Diva Indonesia itu tengah gundah karena, “Aurel tak mau menatap saya ketika berbicara. Dia sibuk memainkan teleponnya.” Sebabnya, Aurel belum memberi izin ibunya untuk menilah lagi. Tabloid wanita ramai memberitakan hal itu, juga tentu, infotainmen, dan situs-situs berita. Dan, seperti bisa diduga, yang akan menikahi KD adalah Rahul Lemos, lelaki yang karenanyalah Anang menjatuhkan talak.
KD, dengan santai, bercerita tentang hasratnya untuk cepat menikah, bukan karena dia lupa pada ucapannya bahwa, “Tak ada orang ketiga dalam perceraian kami,” melainkan dia percaya, penggemar dan pemirsa telah alpa.
KD tak sepenuhnya benar. Khalayak tidak alpa, apalagi lupa, cuma menganggap perselingkuhannya bukanlah sesuatu yang pantas dikenang, dimemorikan. Ironi ini, dalam bahasa Dr Risa Permanadeli, adalah ciri masyarakat Indonesia, yang, “Cenderung mengubur memori kolektifnya.”
Dan kita harus mengakui lemahnya memori kolektif itu. Tora Sudiro kemudian menikah dengan Mieke Amalia, yang dia bantah menjadi sebab kehancuran rumah tangganya. Juga Dona Agnesia, yang secara mendadak berpisah dari Okan, lalu menikah dengan Darius. Dalam sengketa asmara itu, semua aktris membantah kehadiran orang ketiga, tapi waktu kemudian membuktikannya.
Apa yang dibantah, bahkan dengan sumpah, menjadi tak penting lagi. Dalam tik-tok arloji, kelampauan adalah keusangan. Meski itu menyangkut janji, atau hati. Yang menyergap, yang harus dikalahkan, adalah masa depan.
Ayu Azhari misalnya, bertarung untuk masa depan itu. Dia tahu, biografi hidupnya akan dijabarkan. Menikah beberapa kali, acap tampil seksi, sampai berakting bugil dengan Frank Zagarino dalam Without Mercy, dan terakhir, tak memakai bra ketika membaca puisi di hadapan menteri. Kalau pun itu aib, bagi Ayu, telah menjadi masa lalu, dan untuk khalayak, cuma menjadi gosip, dibicarakan tanpa melahirkan tindakan. Ayu berharap, ingatan arloji itu akan dapat mengereknya ke panggung politik karena dia punya kuasa untuk memerintah lupa, “Saya siapkan 10 miliar untuk kampanye.”
Pada akhirnya, di masyarakat kita, kuburan memori kolektif itu adalah uang. Dan ini tak salah. Agustinus, dalam Confession menulis bahwa ingatan, juga kesadaran seseorang, terentang dengan ekspektasinya tentang masa depan. Ingatan, dengan demikian, selalu berelasi dengan kepentingan dan harapan di masa depan. Lupa adalah tindak yang dipilih jika bisa melahirkan sebuah harapan. Dan berkaitan dengan uang, harapan itu tentu berwatak personal.
Dan karena itulah, kita sulit berpikir sebagai bangsa.
Ingatan dibungkam secara pribadi, orang perorang, yang melahirkan kelupaan massal. Uang dan iklan –penghipnotis massa– ditembakkan untuk melahirkan impunitas, pengampunan, pemaafan, permakluman. Dengan itulah, Ayu Azhari berharap bisa melenggang. Atau Ruhut, dengan ringan berteriak bangsat berkali-kali, meski tahu disorot televisi. Mereka percaya, waktu, ingatan arloji itu, akan dapat memperbaharui diri mereka.
Maka, Vena Melinda pun tertawa, ketika tak hapal lagu “Indonesia Raya”. Juga Inggrit Kansil, yang tak dapat menjelaskan apa hak angket, sampai Rachel Maryam yang lupa sila kedua Pancasila. Tak ada wajah gugup, keringat, atau panik, ketika John Pantau menggoda mereka. Padahal, di saat yang sama, ditunjukkan betapa rakyat jelata, yang mereka wakili, tanpa berpikir bisa menjawab pertanyaan itu.
Dan mereka, aktris yang sebelum kampanye digosipkan tak akan memiliki kemampuan di DPR, tetap terpilih juga. Kita, sebagai warga, tentu masih ingat tentang “cacat” mereka. Tapi ingatan itu berjalan ke belakang, tak berfungsi ke depan.
Sia-sia.
Barangkali, inilah yang dikatakan Spinoza sabagai ingatan yang tanpa sad passion, syahwat kesedihan. Mengingat bagi kita, tak melahirkan sakit, sebaliknya perasaan riang, gembira. Karena kita percaya, dalam tiap cacat masa lalu seseorang yang kita kenang, ada rejeki, uang, harapan, di depan. Kita mengingat bukan dengan afeksi, emosi, dan sentimen-sentimen personal untuk masa depan yang lebih baik, melainkan demi kepentingan personal semata.
Ingatan arloji, kataku. Mari menari! mari beria! mari berlupa! tulis Chairil dalam puisi “Cerita buat Dian Tamaela”. Karena dalam lupa, dalam ingatan yang tak ingin kita kuasakan, kita bisa bahagia, meski bukan untuk bangsa.
Arloji, adalah gerak ke depan, tik-tok waktu yang tak pernah kembali. Dalam “hidup arloji”, yang ditinggalkan memang tak dilupakan, tapi diogahi. Masa lalu masih ada, namun tak penting. Celakanya, masa lalu yang tak penting itu hidup dalam “ingatan kolektif yang abai”.
Hari-hari ini, ideologi arloji itu, saya temukan lagi dalam sikap Krisdayanti.
Diva Indonesia itu tengah gundah karena, “Aurel tak mau menatap saya ketika berbicara. Dia sibuk memainkan teleponnya.” Sebabnya, Aurel belum memberi izin ibunya untuk menilah lagi. Tabloid wanita ramai memberitakan hal itu, juga tentu, infotainmen, dan situs-situs berita. Dan, seperti bisa diduga, yang akan menikahi KD adalah Rahul Lemos, lelaki yang karenanyalah Anang menjatuhkan talak.
KD, dengan santai, bercerita tentang hasratnya untuk cepat menikah, bukan karena dia lupa pada ucapannya bahwa, “Tak ada orang ketiga dalam perceraian kami,” melainkan dia percaya, penggemar dan pemirsa telah alpa.
KD tak sepenuhnya benar. Khalayak tidak alpa, apalagi lupa, cuma menganggap perselingkuhannya bukanlah sesuatu yang pantas dikenang, dimemorikan. Ironi ini, dalam bahasa Dr Risa Permanadeli, adalah ciri masyarakat Indonesia, yang, “Cenderung mengubur memori kolektifnya.”
Dan kita harus mengakui lemahnya memori kolektif itu. Tora Sudiro kemudian menikah dengan Mieke Amalia, yang dia bantah menjadi sebab kehancuran rumah tangganya. Juga Dona Agnesia, yang secara mendadak berpisah dari Okan, lalu menikah dengan Darius. Dalam sengketa asmara itu, semua aktris membantah kehadiran orang ketiga, tapi waktu kemudian membuktikannya.
Apa yang dibantah, bahkan dengan sumpah, menjadi tak penting lagi. Dalam tik-tok arloji, kelampauan adalah keusangan. Meski itu menyangkut janji, atau hati. Yang menyergap, yang harus dikalahkan, adalah masa depan.
Ayu Azhari misalnya, bertarung untuk masa depan itu. Dia tahu, biografi hidupnya akan dijabarkan. Menikah beberapa kali, acap tampil seksi, sampai berakting bugil dengan Frank Zagarino dalam Without Mercy, dan terakhir, tak memakai bra ketika membaca puisi di hadapan menteri. Kalau pun itu aib, bagi Ayu, telah menjadi masa lalu, dan untuk khalayak, cuma menjadi gosip, dibicarakan tanpa melahirkan tindakan. Ayu berharap, ingatan arloji itu akan dapat mengereknya ke panggung politik karena dia punya kuasa untuk memerintah lupa, “Saya siapkan 10 miliar untuk kampanye.”
Pada akhirnya, di masyarakat kita, kuburan memori kolektif itu adalah uang. Dan ini tak salah. Agustinus, dalam Confession menulis bahwa ingatan, juga kesadaran seseorang, terentang dengan ekspektasinya tentang masa depan. Ingatan, dengan demikian, selalu berelasi dengan kepentingan dan harapan di masa depan. Lupa adalah tindak yang dipilih jika bisa melahirkan sebuah harapan. Dan berkaitan dengan uang, harapan itu tentu berwatak personal.
Dan karena itulah, kita sulit berpikir sebagai bangsa.
Ingatan dibungkam secara pribadi, orang perorang, yang melahirkan kelupaan massal. Uang dan iklan –penghipnotis massa– ditembakkan untuk melahirkan impunitas, pengampunan, pemaafan, permakluman. Dengan itulah, Ayu Azhari berharap bisa melenggang. Atau Ruhut, dengan ringan berteriak bangsat berkali-kali, meski tahu disorot televisi. Mereka percaya, waktu, ingatan arloji itu, akan dapat memperbaharui diri mereka.
Maka, Vena Melinda pun tertawa, ketika tak hapal lagu “Indonesia Raya”. Juga Inggrit Kansil, yang tak dapat menjelaskan apa hak angket, sampai Rachel Maryam yang lupa sila kedua Pancasila. Tak ada wajah gugup, keringat, atau panik, ketika John Pantau menggoda mereka. Padahal, di saat yang sama, ditunjukkan betapa rakyat jelata, yang mereka wakili, tanpa berpikir bisa menjawab pertanyaan itu.
Dan mereka, aktris yang sebelum kampanye digosipkan tak akan memiliki kemampuan di DPR, tetap terpilih juga. Kita, sebagai warga, tentu masih ingat tentang “cacat” mereka. Tapi ingatan itu berjalan ke belakang, tak berfungsi ke depan.
Sia-sia.
Barangkali, inilah yang dikatakan Spinoza sabagai ingatan yang tanpa sad passion, syahwat kesedihan. Mengingat bagi kita, tak melahirkan sakit, sebaliknya perasaan riang, gembira. Karena kita percaya, dalam tiap cacat masa lalu seseorang yang kita kenang, ada rejeki, uang, harapan, di depan. Kita mengingat bukan dengan afeksi, emosi, dan sentimen-sentimen personal untuk masa depan yang lebih baik, melainkan demi kepentingan personal semata.
Ingatan arloji, kataku. Mari menari! mari beria! mari berlupa! tulis Chairil dalam puisi “Cerita buat Dian Tamaela”. Karena dalam lupa, dalam ingatan yang tak ingin kita kuasakan, kita bisa bahagia, meski bukan untuk bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar